Sabtu, 28 April 2012

budaya sebagai warisan yg melekat dalam diri setiap manusia indonesia


Budaya kisah pewayangan semar
 
I.pendahuluan

Latar belakang

tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa
  
Tujuan
 
Untuk menambah wawasan tokoh pewayangan di dalam budaya indonesia,harus tetap melestarikan kebudayaan-kebudayaan indonesia dan menjaganya karena menjaga, memelihara dan melestarikan kebubayaan merupakan kewajiban setiap individu, maka dalam realisasinya saya mencoba menyusun makalah yang berjudul Kebudayaan Suku Jawa yang didalamnya mengulas tentang berbagai kebudayaan tradisional Jawa.
 
Pembahasan

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

 
II. penutup

Kesimpulan

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Saran

Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas kebudayaan kita,Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.


Daftar pustaka
Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhrathara


Kamis, 19 April 2012

TEORI KEPEMIMPINAN



- Model kontijensi kepemimpinan

Kepemimpian adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum

Konsep kepemimpinan dapat dilihat dari dua kubu, yaitu Kubu Determinisme yang menganggap bahwa pemimpin dilahirkan (Takdir), dan kubu Non Determinisme yang menganggap bahwa pemimpin merupakan suatu proses (dapat dipelajari).

Berbagai penelitian tentang kepemimpinan telah melahirkan berbagai Pendekatan dalam studi kepemimpinan, seperti : pendekatan kesifatan, perilaku dan situasional.

Pendekatan kesifatan, memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (traits) yang tampak pada seseorang.

Pendekatan perilaku, bermaksud mengidentifikasi perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif.

Kedua pendekatan ini (sifat dan perilaku) mempunyai anggapan bahwa seorng individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun dimana dia berada.

Pendekatan situasional, menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektifitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi-tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan penghargaan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan. Pandangan situasional ini telah menimbulkan pendekatan contingency pada kepemimpinan, yang bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas gaya kepemimpinan tertentu.

Pendekatan situasional ini muncul karena para peneliti mengenai gaya kepemimpinan tidak menemukan pendekatan yang paling efektif bagi semua situasi (Fielder, dengan teori contingency, Tannembaum dan Schmidt, dengan teori rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership continuum), Hersey dan Blanchard, dengan teori siklus kehidupan).

LPC (Least Preferred Co-worker) CONTINGENCY MODEL (Fielder)

Model kontijensi efektifitas kepemimpinan ini menyimpulkan bahwa seorang menjadi pemimpin bukan hanya karena kepribadian yang dimilikinya, tetapi juga karena berbagai faktor situasi dan saling hubungan antara pemimpin dengan bawahan.

Keberhasilan seorang pemimpin tergantung (contingent) baik kepada keadaan diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi

Pemimpin yang cenderung berhasil pada situasi tertentu belum tentu berhasil pada situasi yang lain.

Variabel Situasional

Fielder mengemukakan 3 dimensi variabel situasional yang mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu :
1. Hubungan pemimpin dengan bawahan anggota,sejauh mana pimpinan diterima oleh anggotanya.
2. Posisi kekuasaan atau Kekuatan posisi Position Power, kekuasaan dari organisasi, artinya sejauhmana pemimpin mendapatkan kepatuhan dari bawahannya dengan menggunakan kekuasaan yang bersumber dari organisasi secara formal bukan kekuasaan yang berasal dari kharisma atau keahlian.
Pemimpimpin yang memiliki kekuasaan yang jelas (kuat) dari organisasi akan lebih mendapatkan kepatuhan dari bawahannya.
3. Struktur Tugas (Task Structure), Kejelasan tugas dan tanggung jawab setiap orang dalam organisasi. Apabila tatanan tugas cukup jelas, maka prestasi setiap orang yang ada dalam organisasi lebih mudah dikiontrol dan tanggung jawab setiap orang lebih pasti.

Berdasarkan tiga dimensi variabel situasional tersebut, maka ada dua gaya kepemimpinan menurut Fielder, yaitu :
1. Gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas (task oriented), dan
2. Gaya kepemimpinan yang mengutamakan hubungan dengan bawahan (Human relations).

Teori contijensi dari Fielder mengatakan bahwa efektivitas suatu kelompok atau organisasi tergatung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan sutuasi.

Situasi dirumuskan dengan dua karasteristik, yaitu : situasi yang sangat menyenangkan (menguntungkan) dan situasi yang sangat tidak menyenangkan (tidak menguntungkan).
1. Situasi sangat menyenangkan (menguntungkan), adalah situasi dimana pemimpin menguasai, mengendalikan dan mempengaruhi situasi.
2. Situasi sangat tidak menyenangkan (tidak menguntungkan), adalah situasi yang dihadapi oleh manajer dengan ketidak pastian.




- Model kepemimpinan vroom yetton

Gaya pembuatan keputusan yang di kemukakan Vroom Yetton adalah :
1. Manajer membuat keputusan sendiri dangan menggunakan informasi yang tersedia.
2. Manajer mendapat informasi yang diperlukan dari para bawahan dan kemudian menentukan keputusan yang sesuai.
3. Manajer membicarakan masalah dengan para bawahan secara individual dan mendapatkan gagasan-gagasan, saran-saran tanpa mengikut sertakan individu para bawahan sebagai suatu kelompok.
4. Manajer membicarakan situasi keputusan dengan para bawahan sebagai suatu kelompok dan mengumpulkan gagasan-gagasan,saran-saran dalam suatu pertemuan kelompok.
5. Manajer membicarakan situasi keputusan
Model Vroom Yetton
Tipe Keputusan Pengertian
Manajer menanyakan informasi dari bawahan akan tetapi keputusan diambil sendiri oleh manajer. Bawahan tidak selalu harus mengetahui informasi mengenai situasi yang dihadapi.
CI Manajer berbagi informasi dengan bawahan secara individual, dan bertanya mengenai berbagai informasi dan evaluasi dari mereka. Akan tetapi manajer mengambil keputusan sendiri.
CII Manajer dan bawahan bertemu sebagai tim untuk mendiskusikan berbagai hal menyangkut situasi yang dihadapi akan tetapi manajer yang mengambil keputusan.
GII Manajer dan bawahan bertemu sebagai tim untuk mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut situasi yang dihadapi dan keputusan ditentukan oleh tim.
MODEL KEPEMIMPINAN – PARTISIPASIF YANG DIREVISI
Keterangan :
QR : Persyaratan Kualitas, Apakah kualitas keputusan benar-benar penting?
CR : Persyaratan komitmen, Seberapa pentingkah komitmen bawahan pada keputusan?
LI : Informasi Pemimpin, apakah cukup memiliki informasi untuk mengambil keputusdan kualitas tinggi?
SI : Strutur masalah, Apakah masalah terstruktur baik?
CB : Pobabilitas komitmen, Apakah benar-benar ada kepastian bahwa bawahan akan berkomitmen pada keputusan?
GC : Kesesuaian Tujuan, Apakah bawahan ikut memiliki organisasi yang dicapai dalam menentukan masalah?
GO : Informasi bawahan, Apakah bawahan cukup informasi untuk mengambil suatu keputusan berkualitas tinggi?
Riset kepemimpinan menandaskan bahwa kepemimpinan seharusnya diarahkan pada situasi bukannya pada orang sehingga dapat bermakna lebih lanjut untuk untuk situasi otokritas dan partisipasif daripada pemimpin otokratis dan partisipasif. Dengan asumsi bahwa pemimpin dapat menyesuaikan gayanya terhadap situasi yang berlainan.
KESIMPULAN
Ketiga model teori kepemimpinan yang diuaraikan diatas mempunyai kesamaan dan perbedaan di mana ke semua model-model tersebut berkepentingan :
1. Memusatkan perhatian pada dinamika kepemimpinan.
2. Mendorong adanya riset tentang kepemimpinan.
3. Kontroversial karena: pengukuran, terbatasnya pengujian riset, dan hasil riset yang berlawanan.
Perbandingan model-model pendekatan kepemimpinan dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut
Orientasi Tugas Orientasi Hubungan Struktur Tugas Hubungan Pemimpin Anggota Keefektifan Kelompok
KEMUNGKINAN orientasi Tugas Orientasi Hubungan Struktur Tugas Hubungan Pemimpin Anggota Keefektifan Kelompok
PARTISIPASI PEMIMPIN Otokratif Konsultatif Kelompok Kualitas Keputusan, Persyaratan Informasi, Struktur Masalah Penerimaan, Pengikut Atas Keputusan, Kebersamaan Tujuan Tingkat Konflik Pengikut Kualitas Keputusan Penerimaan Oleh Pengikut Waktu Pengambil Keputusan.




- Model Jalan Tujuan (Path-Goal Theory)
Teori yang mengemukakan bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu para pengikut dalam  mencapai tujuan-tujuan mereka dan untuk memberi pengarahan yang dibutuhkan dan/atau dukungan untuk memastikan bhwa tujuan mereka selaras dengan organisasi.
•         2 hal yang perlu diperhatikan
                                Perilaku Pemimpin
             Faktor Situasi
           perilaku yg harus dimiliki pemimpin :
a.       Pemimpin hanya mengarahkan dan membiarkan bawahan.
b.      Pemimpin suportif dan ramah.
c.       Pemimpin partisipatif dan berkonsultasi ke bawahan.
d.      Pemimpin berorientasi prestasi.